Sabtu, 09 Oktober 2010

Sebuah Paket Berisi Kenangan

SEBUAH paket diterima, paket cokelat dan namanya tertera di sana. Ia teringat sesuatu. Ia takut dan ragu. Baru saja selama dua hari ini, di hampir sepanjang dua malam, ia tersedu menangis, teringat sesuatu. Kini ada paket kiriman yang bisa membuatnya benar-benar habis dihanyutkan arus masa lalu. Ia membiarkan paket itu di pangkuannya, memandang tulisan yang berisi nama dan alamatnya. Ia yakin dan sangat mengenal tulisan itu. Kembali air mata menetes. Beberapa jatuh di paket itu, di atas nama dan alamatnya, membuat warna tinta menjadi luntur.

Ia pernah menyakiti hati seseorang. Dulu laki-laki yang disakitinya itu setiap kali datang hanya dilihatnya dari pagar, ditanya ada keperluan apa. Lalu ketika laki-laki itu menanyakan apakah boleh masuk atau tidak, ia dengan tegas menolak. Tidak boleh. Dan laki-laki itu pergi dengan mengucapkan terima kasih. Berkali-kali, sampai tak terhitung. Laki-laki itu datang, menelpon, berusaha mengajaknya bicara. Ia tetap bersikukuh dan ketus. Tapi kemudian dengan sabar laki-laki itu terus datang, terus mengucapkan terima kasih seakan memberi maklum setiap kali ada penolakan, setiap kali ada pengusiran.

Hingga kemudian, ia bisa menerima kedatangan laki-laki itu sekalipun dilayani dengan acuh tak acuh. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu laki-laki itu sungguh baik, penyabar dan benar-benar menyayanginya. Ia tidak ingin perasaan seperti itu dibaca oleh laki-laki itu. Ia tetap angkuh. Dan waktu tetap berjalan dengan caranya sendiri. Mungkin kesabaran ada habisnya, ada hal-hal yang harus tetap berjalan ketika keinginan dan kemauan tidak sesuai dengan kenyataan. Laki-laki itu datang lagi untuk pamitan pergi.

Kali ini dadanya yang tergoncang. Kali ini segala keangkuhannya seperti dikembalikan oleh cermin waktu, merangsek masuk ke dirinya sendiri. Rasa sesal membuncah, ia meneteskan air mata, tersedu. Laki-laki itu kaget, tapi segera penuh maklum. Ia direngkuh dalam pelukan laki-laki itu. Di saat itu, satu kebahagiaan yang tidak pernah didapatinya datang dengan sangat sempurna.

Mereka berdua berjalan sebagai sepasang kekasih untuk beberapa saat. Mereka menjalani saat-saat riang dan saat-saat sedih. Dan setiap kali ada sebuah peristiwa, baik menyenangkan atau menyedihkan, laki-laki kekasihnya itu mencatat dalam sebuah buku harian bersampul biru.

Ketika ia bertanya untuk apa, laki-laki itu hanya menjawab bahwa dia hanya ingin sekadar mencatatnya saja. Tapi ternyata ia bisa mendapatkan manfaatnya. Setiap kali mereka bertengkar hebat, lalu laki-laki itu datang meminta maaf, dan jika ia tetap diam maka laki-laki itu mengulurkan buku catatan peristiwa yang tertoreh di sana, kemudian hatinya menjadi cair, memaafkan untuk kemudian menjalani lagi hari-hari sebagai sepasang kekasih.

Sekalipun telah berjalan sekian lama, ia merasa dirinya tetap berlaku kejam pada kekasihnya. Ia sering menceritakan bagaimana sampai sekarang ia dikejar oleh banyak laki-laki. Ia sering berlaku tidak adil dan curang, memang. Tapi ia selalu berpikir bahwa itu wajar, toh bukankah laki-laki itu yang setengah mati mengejarnya? Bahkan jika rasa bosan dan kesalnya yang bisa datang kapan saja, ia bisa seenaknya berkencan dengan laki-laki lain yang dipilihnya saat itu. Namun, kekasihnya tetap datang dengan kesabaran yang tidak pernah dimengertinya.

Memang kadang-kadang ia merasa kasihan pada laki-laki itu. Kekasihnya tampak begitu sayang dan setia, rela berbuat apa saja, selalu minta maaf jika mereka terlibat pertengkaran sekalipun mungkin ia yang bersalah. Ia harus mengakui, berkali-kali ia menjalin hubungan kasih dengan banyak laki-laki, tapi hanya laki-laki itu-lah yang bisa dengan sabar menjalani kehidupan yang serba tidak adil dengan dirinya. Bahkan jika mereka bertengkar, ia selalu menawarkan untuk putus hubungan saja. Dan laki-laki itu kemudian hanya menunduk, sambil mengucapkan suara yang bergetar bahwa laki-laki itu tidak sanggup berpisah dengan dirinya. Dalam hati, ia tersenyum menang.
* * *
KETIKA saat yang mengagetkan itu datang, ia nyaris kalap pada dirinya sendiri. Sebelum benar-benar pergi, laki-laki itu sempat meninggalkan kalimat bahwa ia akan mengirimkan buku harian yang selama ini penuh dengan catatan peristiwa mereka berdua, jika laki-laki itu hendak menikah kelak. Lalu laki-laki itu benar-benar pergi. Ia dengan segera masuk kamar menangis sekeras-kerasnya. Ia sangat menyesal, tapi bukan rasa sesal saja, ia sesungguhnya merasa tidak rela jika ada perempuan lain yang menerima perhatian, kasih sayang dan kesabaran dari laki-laki itu.

Jauh di dalam hatinya, sesungguhnya ia sangat menyayangi kekasihnya itu. Laki-laki itu bisa memberinya banyak hal sehingga ia merasa utuh menjadi manusia. Tapi entah mengapa, ia juga kadang tidak mengerti, mengapa dirinya selalu berperilaku yang bisa menyakiti kekasih yang juga sangat disayanginya. Mungkin ia ingin terus menguji bahwa kekasihnya benar-benar mencintainya. Mungkin juga ia merasa harus perlu untuk memberi semacam tingkah laku agar laki-laki itu merasa terancam terus-menerus bahwa hubungan mereka bisa putus suatu saat. Dengan cara seperti itu, laki-laki itu akan terus memberikan kasih sayang yang luar biasa. Ia terus sibuk bagaimana membuat kekasihnya tersinggung, cemburu, sakit hati sekaligus khawatir sehingga ia tidak siap ketika datang sebuah keputusan yang di luar segala perkiraannya.

Setelah rasa sesal tumpah, ia tetap berjalan sebagaimana yang dulu. Ia tetap seorang perempuan yang dikejar oleh banyak laki-laki. Ia tinggal memilih dengan gampang laki-laki mana yang akan diajaknya kencan di sebuah malam. Tapi ketika ia sudah bersama dengan mereka, kembali ia membayangkan laki-laki yang ada di sampingnya tidak seperti kekasih yang akhirnya meninggalkannya dengan penuh luka. Kini hanya ada kekosongan dimana-mana. Ruang yang kosong selalu merayapkan rasa getir dan sesal.

Konsentrasinya pada pekerjaan memang banyak membantunya untuk sejenak menghindar dari kerkahan kenangan. Kariernya dengan cepat menanjak, jam terbangnya tinggi. Tapi itu seperti membangun sebuah istana pasir. Ketika gelombang kenangan itu datang menyambar lagi, tembok kukuh yang telah dibangun dengan segala aktivitas yang padat, kembali luruh, hanyut, tidak tersisa. Jika saat seperti itu kembali datang, ketika gelombang kenangan itu kembali menyambar, ia hanya bisa tersedu, dadanya seperti habis disadap ngilu.

Dua hari yang lalu, dari rekan sekerjanya, ia tahu bahwa laki-laki yang pernah menjadi kekasihnya itu dua minggu kemudian akan melangsungkan pernikahan. Ia langsung terduduk, sampai beberapa saat ia tidak bisa melakukan apa-apa. Dan ketika pulang, selama dua hari ia mengurung di dalam kamar, hanya menangis dan menangis. Ia tidak peduli lagi dengan segala urusan kantornya, ia tidak peduli dengan kesehatannya. Ia selalu berharap bahwa semua itu kabar bohong, semua itu hanya semacam mimpi dan ia ingin bangun dengan masih bersama kekasih yang sungguh mati memang benar-benar dicintainya. Tapi semua justru menuju ke satu kepastian: sebuah bungkusan bersampul cokelat dengan tulisan tangan yang sangat dihafalnya.

Kini, ia sudah tidak bisa mengharap apa-apa. Habis sudah. Selesai sudah kenangan yang diam-diam dibiarkannya merambat untuk suatu saat menjelma menjadi kenyataan yang menggembirakan. Ia menunggu laki-laki itu yang berharap suatu saat mendatanginya lagi, mengungkapkan lagi cinta yang tulus, dan dengan suka-cita ia akan menerimanya, berjanji untuk tidak mengulangi segala perilaku yang menyakiti laki-laki yang disayanginya itu. Kini kuncup-kuncup harapan itu benar-benar musnah, meranggas dihantam sebuah paket kecil yang berisi sebuah kepastian.

Di pangkuannya kini, paket itu telah basah oleh air mata. Tinta biru yang tertulis namanya telah luntur seperti harapan-harapan yang pernah dibiarkannya hidup bersemi. Dengan perasaan kosong, ia keluar, dalam gigil tangis yang tak terkata, sedih yang tak teraba, ia memasukkan paket itu ke dalam tas plastik dan membuangnya ke bak sampah di depan rumahnya. Lalu ia masuk dan meneruskan sedu-sedannya.
* * *
JAUH di sebuah kamar yang lain, seorang laki-laki diam menunggu. Matanya juga sembab oleh air mata. Ia telah memutuskan untuk menikah, undangan telah tersebar. Ia telah memutuskan untuk mengakhiri mata rantai kenangan yang begitu kuat melilitnya.

Tapi dua hari yang lalu, ia tidak bisa ingkar pada dirinya sendiri. Dibungkusnya buku catatan harian dengan sesobek kertas di dalamnya. Sebuah penawaran terakhir. Tawaran untuk mengulang lagi kisah kebersamaan dengan segala risikonya. Ia mungkin akan kembali sedih, tapi laki-laki itu, jauh lebih tahu bahwa menjalani hidup tanpa perempuan yang dicintainya hanya akan memberi rasa pedih yang lebih dalam. Dibungkusnya paket itu dengan seluruh keberanian.

Tapi laki-laki itu lupa, ia pernah punya janji lain mengenai catatan harian yang dikirimkannya. Ia benar-benar lupa.* * *

Oleh Puthut EA

0 komentar:

Posting Komentar