Sabtu, 09 Oktober 2010

Perempuan Berwajah Bulan

SETELAH perempuan itu pergi, baru kusadari bahwa aku butuh sebuah nama, atau sebutan apa saja yang dapat menghubungkan pikiran bawah sadarku untuk menandai dirinya. Tapi, dia pergi tanpa sempat memberitahu sepotong namanya terlebih dahulu. Tidak pula meninggalkan secarik kertas yang di sana akan kutemukan sebuah nama dan alamat yang suatu saat dapat pula kusambangi, sebagaimana lazimnya jika seseorang baru saja mendapatkan kenalan baru. Iya, bukan hanya dia saja yang lupa, aku pun tak ingat untuk menanyakan tentang itu padanya. Karena waktu itu aku seperti terbius oleh kedatangannya yang serba tiba-tiba. Aku sedang tersadai di bangku taman depan rumahku sambil menatap kolong langit bersih bertabur manik-manik menyala. Membentuk sebuah formulasi indah mengelilingi bulan. Saat itu tak ada orang lain di tempat. Sudah berjam-jam lamanya aku berdiam di sana. Hingga tiba waktu aku menyaksikan seonggok asap tipis tampak melintas menutupi bulan. Ah, semula aku mengira bulan itu sedang terhalang oleh segumpal awan saja. Tapi, percayalah bahwa benda itu bukanlah gumpalan awan malas semata. Sesaat mulutku tergeragap menyaksikan semua keanehan itu. Beberapa kali aku menggosok-gosokkan mata dengan punggung tangan, dan menganggap keanehan itu dikarenakan oleh mataku yang capek setelah seharian bekerja. Namun, dugaanku ternyata keliru belaka.

Dari gumpalan asap tipis itu perlahan menjelma sosok tubuh seorang perempuan. Iya, sungguh nyata kejadian itu. Aku terhenyak dengan mulut ternganga, namun tak ada sedikit pun suara yang keluar dari mulutku. Perempuan itu meluncur dengan kecepatan cahaya ke arahku, seolah dia sedang asyik berselancar di atas tumpukan salju di daerah kutub.

Dalam hitungan detik dia sudah tampak berdiri di bawah naungan sebatang pohon palem dalam taman. Serta-merta aku bangkit dari bangku taman ketika dia berjalan menghampiriku. Dia tersenyum ramah, meski dengan sedikit kikuk aku balas tersenyum pula padanya. Ada desiran halus kurasakan bergolak dalam tubuhku ketika melihat senyum dari bibir yang rekah itu. Pertanda apa pula ini? Entahlah, waktu itu aku tak sempat berpikir lebih jauh. Sungguh, aku seperti telah lupa segala-galanya kala itu.

Sejujurnya kukatakan, bahwa aku belum pernah bertemu sebelumnya dengan perempuan itu. Tapi, aku sangat percaya bahwa perempuan itu begitu nyata adanya. Dia berhenti dalam jarak beberapa langkah di depanku. Kini kami hanya terpisah oleh jarak yang begitu dekat. Dari tempatku berdiri aku dapat merasakan dengusan napas dan aroma tubuhnya yang wangi tertiup embusan sepoi.

“Maukah kau menemaniku?”

Tiba-tiba saja dia menodongkan pertanyaan itu padaku. Beberapa detik aku seperti terbius dalam kebingungan maha berat. Benarkah apa yang baru saja dia ucapkan, ataukah aku yang telah salah mendengar, dan keliru menafsirkan gerak bibir perempuan itu? Aku masih diam, bahkan sampai lupa menjawab pertanyaannya.
“Bagaimana…?!” Aih, dia menyadarkanku dari lamunan sialan itu.
“ Menemani ke mana?”
“Ke suatu tempat. Maukah kau!” Kini aku tak menjawab dengan kata-kata. Tapi aku terlanjur menganggukkan kepala. Dia tampak puas melihat responsku. Aku bisa membaca kegembiraan itu terpancar dari raut wajahnya di bawah terpaan pias sinar bulan.

Perempuan itu menuntunku ke tepi sebuah sungai berair jernih. Entah sejak kapan pula sungai tersebut berada di sana, dan di mana tempat itu sebetulnya, sungguh aku tak bisa menemukannya setelah kepergian perempuan yang mengunjungiku di taman malam itu. Ataukah sungai tersebut sebenarnya tak pernah ada? Entahlah.

Sungai itu berkelok landai serupa tubuh seekor ular besar yang meliuk-liuk di bawah sinar bulan yang tampak redup keperakan. Kami berjalan bersisian menyusuri sepanjang tepi sungai menuju ke arah muara. Perjalanan sunyi yang tak mudah kulupakan hingga bertahun-tahun setelah kejadian pada malam itu berlalu. Kami terus melangkah meninggalkan jejak-jejak basah di atas bebatuan dan pasir sungai yang lembut. Jejak-jejak telapak kaki kami tampak membekas serupa dua pasang cetakan telapak kaki di atas pasir basah. Sesekali aku mencuri pandang ke arah wajahnya yang tampak bercahaya tertimpa bias bulan yang menyorot lembut. Namun, dia tak membalas lirikanku, terus melangkah dalam kesunyian yang memburai.
Dia mengatur langkah-langkah panjang sambil menatap lurus ke depan, seakan sedang berusaha melihat sesuatu yang bakal muncul dari arah berlawanan dan sedang menyongsong kedatangan kami. Tapi sungguh, aku tak melihat sesuatu yang menarik perhatiannya itu tampak di depan sana.

Aku terus melangkah sambil mengatur jarak di sampingnya agar tidak mendahului dan tidak pula tertinggal jauh di belakangnya. Kami berjalan diam bersama bisu yang membatu. Beberapa kali ingin kuajukan sebuah pertanyaan padanya sekadar untuk membunuh sepi yang terus menggelayut di antara kami, tapi keinginan tersebut selalu saja kandas sebelum sepatah dua patah kata berhasil kurangkai sempurna. Entahlah, aku seakan masih tersihir oleh pesona tubuhnya yang sungguh sulit untuk kutafsir. Namun, sedapat mungkin aku berusaha mengumpulkan sisa-sisa kewarasanku yang rentan untuk menanyainya tentang banyak hal.
“Masih jauhkah tempat itu?”

Ah, akhirnya meluncur juga kata-kata itu. Aku merasa sedikit lega setelah mampu mengajukan sebuah pertanyaan padanya. Dadaku terasa plong dan menjadi lebih tenang sekarang. Pertanyaan itu kusampaikan sekedar untuk meredam sepi yang membuatku merasa seperti salah tingkah dan kian gelisah. Dia menjawab sambil terus menatap lurus ke depan, tanpa menoleh ke arahku, meski hanya sekilas pandang saja. Bahkan, setelah gema suaranya yang menyusup lembut ke liang telingaku sirna, dan kembali berganti dengan gemericik air dari aliran sungai jernih berkelok-kelok, kulihat dia masih tetap dengan sikapnya semula. Berjalan dengan langkah-langkah panjang sambil menatap jauh ke dapan.

“Tak lama lagi kita akan segera sampai.” Katanya.

Kemudian kami kembali melangkah dalam aroma kebisuan menyusuri tepi sungai dan meninggalkan dua bentuk cetakan telapak kaki yang kian banyak jumlahnya di sepanjang bebatuan dan pasir sungai yang baru saja kami lalui. Cetakan telapak kakinya dan telapak kakiku sendiri.

Aku tak lagi bertanya setelah dia katakan tempat tujuan kami sudah tidak seberapa jauh. Meski aku sebetulnya menginginkan perjalanan itu dapat diisi dengan berbincang-bincang riang, bicara soal apa saja, karena kami belum banyak memahami satu sama lainnya untuk membicarakan sesuatu hal yang lebih khusus. Tapi aku tak ingin mengusik kehidmatan yang dia rasakan ketika itu. Aku tahu dia begitu menikmati perjalanan kami yang tampak ganjil. Iya, dari raut mukanya kutahu dia menghendaki saat-saat diam semacam itu berlangsung lebih lama lagi.

Perempuan itu berhenti di samping sebuah batu datar yang agak menjorok hingga ke tengah-tengah sungai. Dia duduk di atasnya sambil menjuntaikan kaki ke dalam sungai yang mengalir tenang. Betisnya yang putih mulus terlihat jelas oleh mataku karena dia sengaja menyingsing kaki celana yang ia pakai agar terhindar dari jilatan lidah air. Aku duduk persis di sisi tubuhnya. Masih dalam keadaan diam tanpa mengerti harus bicara apa.

“Aku akan mengatakan sesuatu padamu.” Katanya.
“Katakanlah!”
“Maukah kau kelak menjadi suamiku?”
Napasku seolah terhenti seketika, denyut jantungku terasa berdetak semakin kencang. Sungguh aku tak pernah menyangka pembicaraannya mengarah hingga ke sana. Tapi, aku tidak terlalu bodoh untuk menolak tawaran tersebut. Siapa yang tak ingin beristeri perempuan seperti dirinya?
“Tentu saja!” jawabku sekenanya.
“Tapi, ada persyaratannya!”
“Beratkah?”
“Kau harus sabar menanti hingga kelak kau temukan diriku kembali,” katanya.
“Hanya itu saja?”
“Iya. Hanya itu!”
Begitulah, perempuan itu telah berikrar untuk menjadi pendamping hidupku. Perempuan yang memiliki wajah elok serupa bulan. Dan aku telah menyanggupinya pula. Meski, baru saja aku mengenal dirinya. Benar-benar sebuah persekutuan aneh yang sulit dinalar. Menjelang fajar meruapkan cahaya dari ufuk timur, kami kembali ke taman di depan rumahku. Dan, di sana aku melepas kepergiannya. Dia melangkah pergi ketika aku masih meraba-raba pipi kiriku yang terasa hangat bekas kecupannya saat kuucapkan selamat jalan. Tapi, aku telah lalai menanyakan siapa namanya dan di mana pula aku harus menemuinya kelak. Sungguh, semua itu datang serba terlambat!
***
ENTAH kota mana lagi yang harus kudatangi untuk menagih janji yang pernah diucapkan perempuan berwajah bulan itu. Bahkan, aku sampai lupa jumlah tempat yang telah kukunjungi, sejak aku memutuskan untuk mencari dirinya. Aku telah bertemu dengan banyak orang ketika melintas dan singgah di sepanjang tempat-tempat yang kebetulan kulewati; bangsa kulit putih, kulit hitam, kulit sawo matang, kulit kuning lencir, semua sudah pernah kujumpai. Namun, belum juga kutemukan sosok perempuan itu. Aku memang pernah menemukan kemiripan dan bayang-bayang dirinya pada diri Pipit, Lesy, Alamanda, Rika, Wulan, Desy, dan entah siapa lagi. Tapi mereka bukanlah perempuan berwajah elok serupa bulan yang mampu mengisi setiap ruang dalam kepalaku.
Perempuan-perempuan yang berhasil kujumpai itu hanya memiliki sedikit kemiripan saja dengan dirinya. Namun, dalam banyak hal mereka sungguh berbeda jauh. Dan, tentu bukan mereka yang sesungguhnya sedang kucari hingga rela menyusuri lorong-lorong kota yang entah!
“Sampai kapan kau akan terus membujang?”
Aku tak mampu menatap wajah ibu yang memanahku dengan tatapan lembut penuh kasih. Betapa aku tak bermaksud menolak setiap permintaan ibu, tapi untuk permintaan satu ini aku tak kuasa serta merta memenuhinya. Meski kusadari bahwa usiaku ternyata sudah hampir tiga puluh-an tahun.
“Menikahlah, nak! Ibu ingin melihatmu berkeluarga dan bisa menimang cucu dari darah dagingmu.”
Suara ibu semakin membuat hatiku teriris-iris. Aku memamah ucapannya dengan getir. Aku ingat ia telah mengandungku selama sembilan bulan, dan membesarkanku dengan ketabahan amat teruji. Tentu saja pada sisa-sisa usia tuanya, ibu sangat ingin menyaksikan anaknya hidup tenang setelah berkeluarga. Namun untuk meluluskan permintaan ibu yang satu itu, entah kenapa selalu saja ada ganjalan kuat dalam diriku? Aku sendiri tak habis mengerti mengapa hal itu bisa terjadi.
“Aku belum menemukannya, Bu,”
“Kau bisa pilih siapa saja! Bukankah masih banyak perempuan yang dapat kau jadikan seorang isteri di kampung ini?”
Ah, ibu. Bukan salah satu dari mereka yang sedang kucari. Tapi, ada perempuan lain yang sejak lama telah merampok hatiku untuknya. Aku berusaha menemukannya kembali untuk menagih janji yang dulu pernah ia katakan itu. Bersabarlah, Bu, bila tiba waktunya perempuan itu akan kubawa serta kepadamu. Percayalah, bahwa hari-hari itu sudah semakin dekat!
Dan kini, aku kembali menyeret langkah-langkah panjang menyusuri setiap lorong kota demi menagih janji itu. Akan kurampungkan sisa-sisa pencarianku yang aku sendiri belum tahu di mana semuanya akan berakhir.
Depok, 25 Oktober 2006
»»  READMORE...

Perempuan yang Menunggu Takdir

a berjalan dengan kedukaan yang sangat. Perempuan muda lembut itu. Tami, Sri Utami nama lengkapnya. Matanya nanar, memerah basah. Ucapan lancip sang ibu terngiang menggelayut batin.

“Nduk, laki-laki itu pemimpin dalam keluarga. Patuhi suamimu!”

Tami tidak menolak dan memang tidak pernah berusaha menolak. Dosa! Kata ibunya, kitab suci sudah mengatur kedudukan laki-laki dan perempuan. Bukan demi laki-laki, tapi semata-mata demi kita, kaum perempuan. Kitab suci tidak mungkin keliru, sebab yang keliru itu manusia. Dalam tubuh manusia ada otak dan nafsu. Otak dan nafsu itulah yang membuat manusia keliru. Jangan gunakan keduanya secara penuh. Liar nantinya. Saringlah dengan hati.

Begitulah hukum Tuhan mengatur dirinya. Tami percaya. Ia melihat ibunya sejak kecil begitu pasrah, menghamba kepada ayah. Ayah adalah pemimpin. Karena pemimpin, ayah berhak mengatur jalannya rumah tangga. Ayah adalah kepala. Karena kepala, ayah menentukan setiap keputusan yang diambil. Ayah tak ubahnya penguasa. Kuasa ayah tidak tergantikan, karena memang tidak ada yang bisa menggantikan. Tidak juga kakek, orang tua ayah, lelaki tua yang biasa memegang kepala Tami setiap kali bertemu di kesempatan liburan sekolah dan bertanya dengan welas.

“Apa cita-citamu kelak, Tami?”

Tami tidak punya jawaban karena sejak kecil ia terlatih untuk tidak memiliki pertanyaan. Ia malah tertawa geli melihat gigi kakek yang ompong di sana sini. Kakek penasaran.

“Tami, kalau besar ingin jadi apa?”

Tami tidak ingin melihat kakek tersinggung, apalagi marah. Tami tidak mau kehilangan kasih kakek yang kerap menjadi benteng terakhir di saat ayah dan ibunya marah. Tami menjawab ringan dengan mulut tertahan.

“Jadi orang baik, kek.”

Kakek memaklumi jawaban sederhana cucu perempuannya itu. Kakek diam sebentar untuk kemudian memberikan pesan yang tertancap di benak bawah sadar Tami hingga ia dewasa, menikah, dan punya anak.

“Kalau mau jadi anak baik, hormati, sayangi, dan patuhi ayah-ibumu, juga kakakmu.”

Anak baik? Hormat, sayang, patuh? Kata-kata itu adalah mantera sakti. Ketiganya wajib dipegang Tami kuat-kuat bila dirinya ingin menjadi anak baik. Sekali kata itu lepas, segalanya akan berantakan. Hormat, sayang, dan patuh untuk Mas Ninok, kakak laki-laki satu-satunya yang sejak kecil sudah tergila-gila dengan ilmu beladiri sehingga selalu menjaga dan bahkan mengatur dirinya. Hormat, sayang, dan patuh untuk ibu, perempuan tak boleh mengeluh yang selalu berpeluh di saat ayam mulai berkokok hingga tengah malam demi melayani anak-anak dan suaminya. Hormat, sayang, dan patuh untuk ayah, lelaki tegap nan berwibawa yang bersepatu hitam, bertas hitam, dan pulang dengan rasa lelah yang mencengkeram.

Di sekolah, dari taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas, Tami mendengar petuah para gurunya, laki-laki ataupun perempuan. Kata mereka, lelaki dan perempuan punya kedudukan, derajat, dan kesempatan yang sama. Bersainglah, karena kalian sama-sama makhluk Tuhan yang dikaruniai akal. Tidak ada yang membedakan kalian. Yang membedakan kalian hanyalah bahwa kalian disebut laki-laki dan perempuan oleh semua orang. Tami tergetar dengan petuah gurunya. Angannya melayang.

Namun, Tami paham pernyataan para gurunya itu tidak benar. Kenyataannya memang demikian. Di mata Tami, semua guru di sekolah seperti tidak pernah bisa jujur, bahkan terhadap diri mereka sendiri. Bagaimana mungkin jujur bila untuk menduduki jabatan ketua kelas saja, mata dan otak, jiwa dan hati para guru tidak pernah dapat berpaling dari makhluk Tuhan yang berjakun itu. Tami harus menerima fakta; ketua kelasnya adalah laki-laki, Ketua OSIS-nya laki-laki, pemimpin upacara setiap hari Senin laki-laki, dan ketua himpunan mahasiswa di kampusnya juga laki-laki,

Di Masjid Baiturrahman yang terletak tidak jauh dari rumahnya, Tami terlena menerima nasihat Ustad Marwan yang memberi khotbah pernikahannya. Kata Ustad Marwan.

“Ananda berdua sudah sah menjadi sepasang suami istri. Apa yang dulu Allah haramkan untuk kalian lakukan, sekarang menjadi halal. Hiduplah dalam kasih dan sayang karena kasih dan sayang adalah pintu menuju keluarga sakinah mawaddah warrahmah. Jangan terlalu banyak menuntut. Terlalu banyak menuntut akan membuat suami kehilangan jati diri. Terimalah secara ikhlas rezeki yang suami berikan, berapapun jumlahnya. Andai sudah ikhlas, jangan mau terseret ke dalam ragu, karena istri salehah sungguh sudah dalam genggaman.”

Usai ijab kabul, Tami tidak pernah menanyakan kenapa petuah Ustad Marwan lebih banyak ditujukan kepada dirinya sebagai seorang perempuan? Apa dirinya bermasalah? Apa keluarga sakinah lebih banyak ditentukan oleh peran dan kedudukan istri dibanding suami? Dan Tami kemudian ikhlas mencium tangan suaminya di hadapan para tamu undangan yang hadir. Itulah bukti awal kepatuhan dirinya sebagai seorang istri. Semua dilakukan demi menangguk derajat istri yang salehah. Sejak itu Tami sebenar-benarnya berusaha keras mengamalkan arti kata melayani.

Ia berlalu dengan penat yang menjerat. Sekejap jilbab putih yang dikenakan Tami sedikit tersingkap. Sebuah sepeda motor nyaris menabrak dirinya. Tami tersentak. Makian kasar keluar dari mulut beraroma alkohol sang pengendara.

“Mungkinkah Tuhan menguji hambanya dengan rasa marah?”

Ketika kuliah, Tami mengaji setiap rabu malam di rumah kontrakan seorang temannya. Sebelumnya, Tami menerima ajakan kakak kelasnya untuk digembleng selama sebulan penuh mengikuti holaqoh di sebuah pesantren saat liburan semester. Lambat laun, ia rindu menjadi seorang akhwat. Tami rindu menjadi perempuan bak Aisyah yang cerdas dan Tami rindu mengubah diri serupa Khadijah yang mandiri. Tami rindu seorang suami layaknya Muhammad sang nabi yang lembut dan bersahaja, tetapi tak pernah kehilangan gelora.

Tami mengabaikan segala pemikiran Farah, teman satu kosnya yang memberontak. Tami hanya melihat, pemberontakan Farah adalah kamuflase dari pengalaman kelam keluarganya. Farah memberontak karena keluarganya rusak. Bapaknya selingkuh, ibunya membalas selingkuh dengan sopir pribadinya hingga akhirnya mereka berdua berpisah. Farah tidak bisa menerima perbuatan bapaknya, tetapi ia dapat menerima perbuatan ibunya. Kata Farah, apa yang dilakukan ibunya tidak mungkin terjadi jika ayahnya tidak lebih dulu memulai.

“Istri harus dapat membalas segala hal yang telah dilakukan oleh suami karena relasi suami-istri bukan relasi yang subordinasi.“

Demikian pernyataan berapi-api Farah di ujung hidung Tami. Seperti biasa, Tami tersenyum dan terpana saat Farah berbicara. Tersenyum karena Tami sangat suka dengan gaya Farah berbicara yang lugas, tegas, dan bernas. Terpana karena jika sedang bicara, Tami tidak mampu menghilangkan bayangan Farah ketika berorasi di atas podium seperti dia lakukan sewaktu memimpin demo di kampus.

Karena itu, Tami tidak terlalu peduli dengan segala kritikan Farah terhadap dirinya yang memutuskan menerima lamaran teman sepengajiannya atas perantaraan guru ngaji-nya di saat tugas skripsi belum lagi rampung. Farah datang dengan rentetan kata-kata tajam nan menyentak.

“Bagaimana mungkin kamu menikah dengan seseorang yang kamu tidak mengenalnya?”

“Bagaimana mungkin kamu dapat menghidupi keluargamu sedangkan diri kamu dan suamimu belum lagi punya penghasilan?”

“Bagaimana mungkin kamu tega menyandarkan hidup keluargamu kepada orang tua dan mertuamu?”

Tami menjawab semua keheranan Farah dengan sebuah pernyataan yang membuat Farah meradang dan akhirnya sadar bahwa mereka berdua tidak lagi mungkin dapat menjadi sahabat karena besarnya perbedaan di antara mereka.

Kata Tami lembut, “Farah, saya tidak punya kehendak untuk menikahi seseorang. Saya hanya berusaha belajar menerima takdir Allah dengan penuh rasa cinta dan ikhlas.”

Selang beberapa waktu, Tami diam-diam mulai mengakui sebagian kebenaran pendapat Farah. Suaminya memang tidak pernah berlaku kasar kepadanya dan bahkan terkesan lembut. Namun, Tami baru sadar, suaminya ternyata terlalu lembut untuk mau bertarung melawan segala masalah dan beban hidup yang menusuk dan menikam, membelah dan merobek keluarga. Tami tiba-tiba kerap digandrungi sebuah pertanyaan yang menggoda, haruskah lembut bermakna mengalah?

Atas dasar keinginan meringankan beban ekonomi keluarga, setelah menyelesaikan kuliahnya, Tami mengurus kartu kuning di Kantor Depnakertrans, melegalisir ijazah S-1 beserta transkrip nilainya, dan melamar kerja pada sebuah instansi pemerintah. Tami bersyukur, usaha kerasnya tidak sia-sia karena ia diterima sebagai PNS. Kejadian ini membuat Tami berharap suaminya dapat tersenyum dan bahagia. Lebih dari itu, Tami berharap suaminya mampu meleburkan rasa lembutnya menjadi pesona yang bergairah dan hidup.

Memang, suaminya tersenyum dan memang suaminya bahagia. Namun, itu hanya dalam hitungan bulan atau malah hari. Tami kini yakin ia telah keliru. Suaminya sebenarnya tidak pernah tersenyum layaknya orang yang sedang tersenyum. Suaminya juga tidak pernah berbahagia seperti halnya orang yang sedang berbahagia. Setiap hari, Tami malah harus menghadapi rentetan pertanyaan suaminya yang seolah peluru muntah. Keras dan menyakitkan.

“Kenapa pulang malam?!” Padahal Tami sudah terlebih dahulu menjelaskan bahwa hari itu ia diminta lembur secara mendadak oleh atasannya.

“Apakah kamu tidak ada waktu lagi buat anak-anak?!” Padahal setiap tiga jam Tami tak lupa menyempatkan diri menelpon anak-anaknya dari kantor.

Kelembutan suaminya memang telah pergi. Tapi, kelembutan itu kini berubah menjadi wajah seorang pria yang kehilangan nalar. Garang. Menakutkan. Tami sudah tidak kuat lagi kendati ia sedang terus berusaha menguatkan dirinya.

“Ingatlah, singgasana Tuhan akan berguncang hebat manakala sepasang suami istri menyatakan diri berpisah untuk bercerai”. Tami tahu itu. Tami begitu takut. Kini, Tami hanya menunggu tangan Tuhan berlaku atas dirinya.

Ia tiba di pintu pagar rumahnya. Tami berusaha menahan air matanya agar tidak terus menerus jatuh. Namun, ia gagal. Dua bidadari kecil berlarian, berebut memeluk dirinya.

“Mama dari mana?”

Oleh ademin
»»  READMORE...

Sebuah Paket Berisi Kenangan

SEBUAH paket diterima, paket cokelat dan namanya tertera di sana. Ia teringat sesuatu. Ia takut dan ragu. Baru saja selama dua hari ini, di hampir sepanjang dua malam, ia tersedu menangis, teringat sesuatu. Kini ada paket kiriman yang bisa membuatnya benar-benar habis dihanyutkan arus masa lalu. Ia membiarkan paket itu di pangkuannya, memandang tulisan yang berisi nama dan alamatnya. Ia yakin dan sangat mengenal tulisan itu. Kembali air mata menetes. Beberapa jatuh di paket itu, di atas nama dan alamatnya, membuat warna tinta menjadi luntur.

Ia pernah menyakiti hati seseorang. Dulu laki-laki yang disakitinya itu setiap kali datang hanya dilihatnya dari pagar, ditanya ada keperluan apa. Lalu ketika laki-laki itu menanyakan apakah boleh masuk atau tidak, ia dengan tegas menolak. Tidak boleh. Dan laki-laki itu pergi dengan mengucapkan terima kasih. Berkali-kali, sampai tak terhitung. Laki-laki itu datang, menelpon, berusaha mengajaknya bicara. Ia tetap bersikukuh dan ketus. Tapi kemudian dengan sabar laki-laki itu terus datang, terus mengucapkan terima kasih seakan memberi maklum setiap kali ada penolakan, setiap kali ada pengusiran.

Hingga kemudian, ia bisa menerima kedatangan laki-laki itu sekalipun dilayani dengan acuh tak acuh. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu laki-laki itu sungguh baik, penyabar dan benar-benar menyayanginya. Ia tidak ingin perasaan seperti itu dibaca oleh laki-laki itu. Ia tetap angkuh. Dan waktu tetap berjalan dengan caranya sendiri. Mungkin kesabaran ada habisnya, ada hal-hal yang harus tetap berjalan ketika keinginan dan kemauan tidak sesuai dengan kenyataan. Laki-laki itu datang lagi untuk pamitan pergi.

Kali ini dadanya yang tergoncang. Kali ini segala keangkuhannya seperti dikembalikan oleh cermin waktu, merangsek masuk ke dirinya sendiri. Rasa sesal membuncah, ia meneteskan air mata, tersedu. Laki-laki itu kaget, tapi segera penuh maklum. Ia direngkuh dalam pelukan laki-laki itu. Di saat itu, satu kebahagiaan yang tidak pernah didapatinya datang dengan sangat sempurna.

Mereka berdua berjalan sebagai sepasang kekasih untuk beberapa saat. Mereka menjalani saat-saat riang dan saat-saat sedih. Dan setiap kali ada sebuah peristiwa, baik menyenangkan atau menyedihkan, laki-laki kekasihnya itu mencatat dalam sebuah buku harian bersampul biru.

Ketika ia bertanya untuk apa, laki-laki itu hanya menjawab bahwa dia hanya ingin sekadar mencatatnya saja. Tapi ternyata ia bisa mendapatkan manfaatnya. Setiap kali mereka bertengkar hebat, lalu laki-laki itu datang meminta maaf, dan jika ia tetap diam maka laki-laki itu mengulurkan buku catatan peristiwa yang tertoreh di sana, kemudian hatinya menjadi cair, memaafkan untuk kemudian menjalani lagi hari-hari sebagai sepasang kekasih.

Sekalipun telah berjalan sekian lama, ia merasa dirinya tetap berlaku kejam pada kekasihnya. Ia sering menceritakan bagaimana sampai sekarang ia dikejar oleh banyak laki-laki. Ia sering berlaku tidak adil dan curang, memang. Tapi ia selalu berpikir bahwa itu wajar, toh bukankah laki-laki itu yang setengah mati mengejarnya? Bahkan jika rasa bosan dan kesalnya yang bisa datang kapan saja, ia bisa seenaknya berkencan dengan laki-laki lain yang dipilihnya saat itu. Namun, kekasihnya tetap datang dengan kesabaran yang tidak pernah dimengertinya.

Memang kadang-kadang ia merasa kasihan pada laki-laki itu. Kekasihnya tampak begitu sayang dan setia, rela berbuat apa saja, selalu minta maaf jika mereka terlibat pertengkaran sekalipun mungkin ia yang bersalah. Ia harus mengakui, berkali-kali ia menjalin hubungan kasih dengan banyak laki-laki, tapi hanya laki-laki itu-lah yang bisa dengan sabar menjalani kehidupan yang serba tidak adil dengan dirinya. Bahkan jika mereka bertengkar, ia selalu menawarkan untuk putus hubungan saja. Dan laki-laki itu kemudian hanya menunduk, sambil mengucapkan suara yang bergetar bahwa laki-laki itu tidak sanggup berpisah dengan dirinya. Dalam hati, ia tersenyum menang.
* * *
KETIKA saat yang mengagetkan itu datang, ia nyaris kalap pada dirinya sendiri. Sebelum benar-benar pergi, laki-laki itu sempat meninggalkan kalimat bahwa ia akan mengirimkan buku harian yang selama ini penuh dengan catatan peristiwa mereka berdua, jika laki-laki itu hendak menikah kelak. Lalu laki-laki itu benar-benar pergi. Ia dengan segera masuk kamar menangis sekeras-kerasnya. Ia sangat menyesal, tapi bukan rasa sesal saja, ia sesungguhnya merasa tidak rela jika ada perempuan lain yang menerima perhatian, kasih sayang dan kesabaran dari laki-laki itu.

Jauh di dalam hatinya, sesungguhnya ia sangat menyayangi kekasihnya itu. Laki-laki itu bisa memberinya banyak hal sehingga ia merasa utuh menjadi manusia. Tapi entah mengapa, ia juga kadang tidak mengerti, mengapa dirinya selalu berperilaku yang bisa menyakiti kekasih yang juga sangat disayanginya. Mungkin ia ingin terus menguji bahwa kekasihnya benar-benar mencintainya. Mungkin juga ia merasa harus perlu untuk memberi semacam tingkah laku agar laki-laki itu merasa terancam terus-menerus bahwa hubungan mereka bisa putus suatu saat. Dengan cara seperti itu, laki-laki itu akan terus memberikan kasih sayang yang luar biasa. Ia terus sibuk bagaimana membuat kekasihnya tersinggung, cemburu, sakit hati sekaligus khawatir sehingga ia tidak siap ketika datang sebuah keputusan yang di luar segala perkiraannya.

Setelah rasa sesal tumpah, ia tetap berjalan sebagaimana yang dulu. Ia tetap seorang perempuan yang dikejar oleh banyak laki-laki. Ia tinggal memilih dengan gampang laki-laki mana yang akan diajaknya kencan di sebuah malam. Tapi ketika ia sudah bersama dengan mereka, kembali ia membayangkan laki-laki yang ada di sampingnya tidak seperti kekasih yang akhirnya meninggalkannya dengan penuh luka. Kini hanya ada kekosongan dimana-mana. Ruang yang kosong selalu merayapkan rasa getir dan sesal.

Konsentrasinya pada pekerjaan memang banyak membantunya untuk sejenak menghindar dari kerkahan kenangan. Kariernya dengan cepat menanjak, jam terbangnya tinggi. Tapi itu seperti membangun sebuah istana pasir. Ketika gelombang kenangan itu datang menyambar lagi, tembok kukuh yang telah dibangun dengan segala aktivitas yang padat, kembali luruh, hanyut, tidak tersisa. Jika saat seperti itu kembali datang, ketika gelombang kenangan itu kembali menyambar, ia hanya bisa tersedu, dadanya seperti habis disadap ngilu.

Dua hari yang lalu, dari rekan sekerjanya, ia tahu bahwa laki-laki yang pernah menjadi kekasihnya itu dua minggu kemudian akan melangsungkan pernikahan. Ia langsung terduduk, sampai beberapa saat ia tidak bisa melakukan apa-apa. Dan ketika pulang, selama dua hari ia mengurung di dalam kamar, hanya menangis dan menangis. Ia tidak peduli lagi dengan segala urusan kantornya, ia tidak peduli dengan kesehatannya. Ia selalu berharap bahwa semua itu kabar bohong, semua itu hanya semacam mimpi dan ia ingin bangun dengan masih bersama kekasih yang sungguh mati memang benar-benar dicintainya. Tapi semua justru menuju ke satu kepastian: sebuah bungkusan bersampul cokelat dengan tulisan tangan yang sangat dihafalnya.

Kini, ia sudah tidak bisa mengharap apa-apa. Habis sudah. Selesai sudah kenangan yang diam-diam dibiarkannya merambat untuk suatu saat menjelma menjadi kenyataan yang menggembirakan. Ia menunggu laki-laki itu yang berharap suatu saat mendatanginya lagi, mengungkapkan lagi cinta yang tulus, dan dengan suka-cita ia akan menerimanya, berjanji untuk tidak mengulangi segala perilaku yang menyakiti laki-laki yang disayanginya itu. Kini kuncup-kuncup harapan itu benar-benar musnah, meranggas dihantam sebuah paket kecil yang berisi sebuah kepastian.

Di pangkuannya kini, paket itu telah basah oleh air mata. Tinta biru yang tertulis namanya telah luntur seperti harapan-harapan yang pernah dibiarkannya hidup bersemi. Dengan perasaan kosong, ia keluar, dalam gigil tangis yang tak terkata, sedih yang tak teraba, ia memasukkan paket itu ke dalam tas plastik dan membuangnya ke bak sampah di depan rumahnya. Lalu ia masuk dan meneruskan sedu-sedannya.
* * *
JAUH di sebuah kamar yang lain, seorang laki-laki diam menunggu. Matanya juga sembab oleh air mata. Ia telah memutuskan untuk menikah, undangan telah tersebar. Ia telah memutuskan untuk mengakhiri mata rantai kenangan yang begitu kuat melilitnya.

Tapi dua hari yang lalu, ia tidak bisa ingkar pada dirinya sendiri. Dibungkusnya buku catatan harian dengan sesobek kertas di dalamnya. Sebuah penawaran terakhir. Tawaran untuk mengulang lagi kisah kebersamaan dengan segala risikonya. Ia mungkin akan kembali sedih, tapi laki-laki itu, jauh lebih tahu bahwa menjalani hidup tanpa perempuan yang dicintainya hanya akan memberi rasa pedih yang lebih dalam. Dibungkusnya paket itu dengan seluruh keberanian.

Tapi laki-laki itu lupa, ia pernah punya janji lain mengenai catatan harian yang dikirimkannya. Ia benar-benar lupa.* * *

Oleh Puthut EA
»»  READMORE...