SETELAH perempuan itu pergi, baru kusadari bahwa aku butuh sebuah nama, atau sebutan apa saja yang dapat menghubungkan pikiran bawah sadarku untuk menandai dirinya. Tapi, dia pergi tanpa sempat memberitahu sepotong namanya terlebih dahulu. Tidak pula meninggalkan secarik kertas yang di sana akan kutemukan sebuah nama dan alamat yang suatu saat dapat pula kusambangi, sebagaimana lazimnya jika seseorang baru saja mendapatkan kenalan baru. Iya, bukan hanya dia saja yang lupa, aku pun tak ingat untuk menanyakan tentang itu padanya. Karena waktu itu aku seperti terbius oleh kedatangannya yang serba tiba-tiba. Aku sedang tersadai di bangku taman depan rumahku sambil menatap kolong langit bersih bertabur manik-manik menyala. Membentuk sebuah formulasi indah mengelilingi bulan. Saat itu tak ada orang lain di tempat. Sudah berjam-jam lamanya aku berdiam di sana. Hingga tiba waktu aku menyaksikan seonggok asap tipis tampak melintas menutupi bulan. Ah, semula aku mengira bulan itu sedang terhalang oleh segumpal awan saja. Tapi, percayalah bahwa benda itu bukanlah gumpalan awan malas semata. Sesaat mulutku tergeragap menyaksikan semua keanehan itu. Beberapa kali aku menggosok-gosokkan mata dengan punggung tangan, dan menganggap keanehan itu dikarenakan oleh mataku yang capek setelah seharian bekerja. Namun, dugaanku ternyata keliru belaka.
Dari gumpalan asap tipis itu perlahan menjelma sosok tubuh seorang perempuan. Iya, sungguh nyata kejadian itu. Aku terhenyak dengan mulut ternganga, namun tak ada sedikit pun suara yang keluar dari mulutku. Perempuan itu meluncur dengan kecepatan cahaya ke arahku, seolah dia sedang asyik berselancar di atas tumpukan salju di daerah kutub.
Dalam hitungan detik dia sudah tampak berdiri di bawah naungan sebatang pohon palem dalam taman. Serta-merta aku bangkit dari bangku taman ketika dia berjalan menghampiriku. Dia tersenyum ramah, meski dengan sedikit kikuk aku balas tersenyum pula padanya. Ada desiran halus kurasakan bergolak dalam tubuhku ketika melihat senyum dari bibir yang rekah itu. Pertanda apa pula ini? Entahlah, waktu itu aku tak sempat berpikir lebih jauh. Sungguh, aku seperti telah lupa segala-galanya kala itu.
Sejujurnya kukatakan, bahwa aku belum pernah bertemu sebelumnya dengan perempuan itu. Tapi, aku sangat percaya bahwa perempuan itu begitu nyata adanya. Dia berhenti dalam jarak beberapa langkah di depanku. Kini kami hanya terpisah oleh jarak yang begitu dekat. Dari tempatku berdiri aku dapat merasakan dengusan napas dan aroma tubuhnya yang wangi tertiup embusan sepoi.
“Maukah kau menemaniku?”
Tiba-tiba saja dia menodongkan pertanyaan itu padaku. Beberapa detik aku seperti terbius dalam kebingungan maha berat. Benarkah apa yang baru saja dia ucapkan, ataukah aku yang telah salah mendengar, dan keliru menafsirkan gerak bibir perempuan itu? Aku masih diam, bahkan sampai lupa menjawab pertanyaannya.
“Bagaimana…?!” Aih, dia menyadarkanku dari lamunan sialan itu.
“ Menemani ke mana?”
“Ke suatu tempat. Maukah kau!” Kini aku tak menjawab dengan kata-kata. Tapi aku terlanjur menganggukkan kepala. Dia tampak puas melihat responsku. Aku bisa membaca kegembiraan itu terpancar dari raut wajahnya di bawah terpaan pias sinar bulan.
Perempuan itu menuntunku ke tepi sebuah sungai berair jernih. Entah sejak kapan pula sungai tersebut berada di sana, dan di mana tempat itu sebetulnya, sungguh aku tak bisa menemukannya setelah kepergian perempuan yang mengunjungiku di taman malam itu. Ataukah sungai tersebut sebenarnya tak pernah ada? Entahlah.
Sungai itu berkelok landai serupa tubuh seekor ular besar yang meliuk-liuk di bawah sinar bulan yang tampak redup keperakan. Kami berjalan bersisian menyusuri sepanjang tepi sungai menuju ke arah muara. Perjalanan sunyi yang tak mudah kulupakan hingga bertahun-tahun setelah kejadian pada malam itu berlalu. Kami terus melangkah meninggalkan jejak-jejak basah di atas bebatuan dan pasir sungai yang lembut. Jejak-jejak telapak kaki kami tampak membekas serupa dua pasang cetakan telapak kaki di atas pasir basah. Sesekali aku mencuri pandang ke arah wajahnya yang tampak bercahaya tertimpa bias bulan yang menyorot lembut. Namun, dia tak membalas lirikanku, terus melangkah dalam kesunyian yang memburai.
Dia mengatur langkah-langkah panjang sambil menatap lurus ke depan, seakan sedang berusaha melihat sesuatu yang bakal muncul dari arah berlawanan dan sedang menyongsong kedatangan kami. Tapi sungguh, aku tak melihat sesuatu yang menarik perhatiannya itu tampak di depan sana.
Aku terus melangkah sambil mengatur jarak di sampingnya agar tidak mendahului dan tidak pula tertinggal jauh di belakangnya. Kami berjalan diam bersama bisu yang membatu. Beberapa kali ingin kuajukan sebuah pertanyaan padanya sekadar untuk membunuh sepi yang terus menggelayut di antara kami, tapi keinginan tersebut selalu saja kandas sebelum sepatah dua patah kata berhasil kurangkai sempurna. Entahlah, aku seakan masih tersihir oleh pesona tubuhnya yang sungguh sulit untuk kutafsir. Namun, sedapat mungkin aku berusaha mengumpulkan sisa-sisa kewarasanku yang rentan untuk menanyainya tentang banyak hal.
“Masih jauhkah tempat itu?”
Ah, akhirnya meluncur juga kata-kata itu. Aku merasa sedikit lega setelah mampu mengajukan sebuah pertanyaan padanya. Dadaku terasa plong dan menjadi lebih tenang sekarang. Pertanyaan itu kusampaikan sekedar untuk meredam sepi yang membuatku merasa seperti salah tingkah dan kian gelisah. Dia menjawab sambil terus menatap lurus ke depan, tanpa menoleh ke arahku, meski hanya sekilas pandang saja. Bahkan, setelah gema suaranya yang menyusup lembut ke liang telingaku sirna, dan kembali berganti dengan gemericik air dari aliran sungai jernih berkelok-kelok, kulihat dia masih tetap dengan sikapnya semula. Berjalan dengan langkah-langkah panjang sambil menatap jauh ke dapan.
“Tak lama lagi kita akan segera sampai.” Katanya.
Kemudian kami kembali melangkah dalam aroma kebisuan menyusuri tepi sungai dan meninggalkan dua bentuk cetakan telapak kaki yang kian banyak jumlahnya di sepanjang bebatuan dan pasir sungai yang baru saja kami lalui. Cetakan telapak kakinya dan telapak kakiku sendiri.
Aku tak lagi bertanya setelah dia katakan tempat tujuan kami sudah tidak seberapa jauh. Meski aku sebetulnya menginginkan perjalanan itu dapat diisi dengan berbincang-bincang riang, bicara soal apa saja, karena kami belum banyak memahami satu sama lainnya untuk membicarakan sesuatu hal yang lebih khusus. Tapi aku tak ingin mengusik kehidmatan yang dia rasakan ketika itu. Aku tahu dia begitu menikmati perjalanan kami yang tampak ganjil. Iya, dari raut mukanya kutahu dia menghendaki saat-saat diam semacam itu berlangsung lebih lama lagi.
Perempuan itu berhenti di samping sebuah batu datar yang agak menjorok hingga ke tengah-tengah sungai. Dia duduk di atasnya sambil menjuntaikan kaki ke dalam sungai yang mengalir tenang. Betisnya yang putih mulus terlihat jelas oleh mataku karena dia sengaja menyingsing kaki celana yang ia pakai agar terhindar dari jilatan lidah air. Aku duduk persis di sisi tubuhnya. Masih dalam keadaan diam tanpa mengerti harus bicara apa.
“Aku akan mengatakan sesuatu padamu.” Katanya.
“Katakanlah!”
“Maukah kau kelak menjadi suamiku?”
Napasku seolah terhenti seketika, denyut jantungku terasa berdetak semakin kencang. Sungguh aku tak pernah menyangka pembicaraannya mengarah hingga ke sana. Tapi, aku tidak terlalu bodoh untuk menolak tawaran tersebut. Siapa yang tak ingin beristeri perempuan seperti dirinya?
“Tentu saja!” jawabku sekenanya.
“Tapi, ada persyaratannya!”
“Beratkah?”
“Kau harus sabar menanti hingga kelak kau temukan diriku kembali,” katanya.
“Hanya itu saja?”
“Iya. Hanya itu!”
Begitulah, perempuan itu telah berikrar untuk menjadi pendamping hidupku. Perempuan yang memiliki wajah elok serupa bulan. Dan aku telah menyanggupinya pula. Meski, baru saja aku mengenal dirinya. Benar-benar sebuah persekutuan aneh yang sulit dinalar. Menjelang fajar meruapkan cahaya dari ufuk timur, kami kembali ke taman di depan rumahku. Dan, di sana aku melepas kepergiannya. Dia melangkah pergi ketika aku masih meraba-raba pipi kiriku yang terasa hangat bekas kecupannya saat kuucapkan selamat jalan. Tapi, aku telah lalai menanyakan siapa namanya dan di mana pula aku harus menemuinya kelak. Sungguh, semua itu datang serba terlambat!
***
ENTAH kota mana lagi yang harus kudatangi untuk menagih janji yang pernah diucapkan perempuan berwajah bulan itu. Bahkan, aku sampai lupa jumlah tempat yang telah kukunjungi, sejak aku memutuskan untuk mencari dirinya. Aku telah bertemu dengan banyak orang ketika melintas dan singgah di sepanjang tempat-tempat yang kebetulan kulewati; bangsa kulit putih, kulit hitam, kulit sawo matang, kulit kuning lencir, semua sudah pernah kujumpai. Namun, belum juga kutemukan sosok perempuan itu. Aku memang pernah menemukan kemiripan dan bayang-bayang dirinya pada diri Pipit, Lesy, Alamanda, Rika, Wulan, Desy, dan entah siapa lagi. Tapi mereka bukanlah perempuan berwajah elok serupa bulan yang mampu mengisi setiap ruang dalam kepalaku.
Perempuan-perempuan yang berhasil kujumpai itu hanya memiliki sedikit kemiripan saja dengan dirinya. Namun, dalam banyak hal mereka sungguh berbeda jauh. Dan, tentu bukan mereka yang sesungguhnya sedang kucari hingga rela menyusuri lorong-lorong kota yang entah!
“Sampai kapan kau akan terus membujang?”
Aku tak mampu menatap wajah ibu yang memanahku dengan tatapan lembut penuh kasih. Betapa aku tak bermaksud menolak setiap permintaan ibu, tapi untuk permintaan satu ini aku tak kuasa serta merta memenuhinya. Meski kusadari bahwa usiaku ternyata sudah hampir tiga puluh-an tahun.
“Menikahlah, nak! Ibu ingin melihatmu berkeluarga dan bisa menimang cucu dari darah dagingmu.”
Suara ibu semakin membuat hatiku teriris-iris. Aku memamah ucapannya dengan getir. Aku ingat ia telah mengandungku selama sembilan bulan, dan membesarkanku dengan ketabahan amat teruji. Tentu saja pada sisa-sisa usia tuanya, ibu sangat ingin menyaksikan anaknya hidup tenang setelah berkeluarga. Namun untuk meluluskan permintaan ibu yang satu itu, entah kenapa selalu saja ada ganjalan kuat dalam diriku? Aku sendiri tak habis mengerti mengapa hal itu bisa terjadi.
“Aku belum menemukannya, Bu,”
“Kau bisa pilih siapa saja! Bukankah masih banyak perempuan yang dapat kau jadikan seorang isteri di kampung ini?”
Ah, ibu. Bukan salah satu dari mereka yang sedang kucari. Tapi, ada perempuan lain yang sejak lama telah merampok hatiku untuknya. Aku berusaha menemukannya kembali untuk menagih janji yang dulu pernah ia katakan itu. Bersabarlah, Bu, bila tiba waktunya perempuan itu akan kubawa serta kepadamu. Percayalah, bahwa hari-hari itu sudah semakin dekat!
Dan kini, aku kembali menyeret langkah-langkah panjang menyusuri setiap lorong kota demi menagih janji itu. Akan kurampungkan sisa-sisa pencarianku yang aku sendiri belum tahu di mana semuanya akan berakhir.
Depok, 25 Oktober 2006
»» READMORE...
Dari gumpalan asap tipis itu perlahan menjelma sosok tubuh seorang perempuan. Iya, sungguh nyata kejadian itu. Aku terhenyak dengan mulut ternganga, namun tak ada sedikit pun suara yang keluar dari mulutku. Perempuan itu meluncur dengan kecepatan cahaya ke arahku, seolah dia sedang asyik berselancar di atas tumpukan salju di daerah kutub.
Dalam hitungan detik dia sudah tampak berdiri di bawah naungan sebatang pohon palem dalam taman. Serta-merta aku bangkit dari bangku taman ketika dia berjalan menghampiriku. Dia tersenyum ramah, meski dengan sedikit kikuk aku balas tersenyum pula padanya. Ada desiran halus kurasakan bergolak dalam tubuhku ketika melihat senyum dari bibir yang rekah itu. Pertanda apa pula ini? Entahlah, waktu itu aku tak sempat berpikir lebih jauh. Sungguh, aku seperti telah lupa segala-galanya kala itu.
Sejujurnya kukatakan, bahwa aku belum pernah bertemu sebelumnya dengan perempuan itu. Tapi, aku sangat percaya bahwa perempuan itu begitu nyata adanya. Dia berhenti dalam jarak beberapa langkah di depanku. Kini kami hanya terpisah oleh jarak yang begitu dekat. Dari tempatku berdiri aku dapat merasakan dengusan napas dan aroma tubuhnya yang wangi tertiup embusan sepoi.
“Maukah kau menemaniku?”
Tiba-tiba saja dia menodongkan pertanyaan itu padaku. Beberapa detik aku seperti terbius dalam kebingungan maha berat. Benarkah apa yang baru saja dia ucapkan, ataukah aku yang telah salah mendengar, dan keliru menafsirkan gerak bibir perempuan itu? Aku masih diam, bahkan sampai lupa menjawab pertanyaannya.
“Bagaimana…?!” Aih, dia menyadarkanku dari lamunan sialan itu.
“ Menemani ke mana?”
“Ke suatu tempat. Maukah kau!” Kini aku tak menjawab dengan kata-kata. Tapi aku terlanjur menganggukkan kepala. Dia tampak puas melihat responsku. Aku bisa membaca kegembiraan itu terpancar dari raut wajahnya di bawah terpaan pias sinar bulan.
Perempuan itu menuntunku ke tepi sebuah sungai berair jernih. Entah sejak kapan pula sungai tersebut berada di sana, dan di mana tempat itu sebetulnya, sungguh aku tak bisa menemukannya setelah kepergian perempuan yang mengunjungiku di taman malam itu. Ataukah sungai tersebut sebenarnya tak pernah ada? Entahlah.
Sungai itu berkelok landai serupa tubuh seekor ular besar yang meliuk-liuk di bawah sinar bulan yang tampak redup keperakan. Kami berjalan bersisian menyusuri sepanjang tepi sungai menuju ke arah muara. Perjalanan sunyi yang tak mudah kulupakan hingga bertahun-tahun setelah kejadian pada malam itu berlalu. Kami terus melangkah meninggalkan jejak-jejak basah di atas bebatuan dan pasir sungai yang lembut. Jejak-jejak telapak kaki kami tampak membekas serupa dua pasang cetakan telapak kaki di atas pasir basah. Sesekali aku mencuri pandang ke arah wajahnya yang tampak bercahaya tertimpa bias bulan yang menyorot lembut. Namun, dia tak membalas lirikanku, terus melangkah dalam kesunyian yang memburai.
Dia mengatur langkah-langkah panjang sambil menatap lurus ke depan, seakan sedang berusaha melihat sesuatu yang bakal muncul dari arah berlawanan dan sedang menyongsong kedatangan kami. Tapi sungguh, aku tak melihat sesuatu yang menarik perhatiannya itu tampak di depan sana.
Aku terus melangkah sambil mengatur jarak di sampingnya agar tidak mendahului dan tidak pula tertinggal jauh di belakangnya. Kami berjalan diam bersama bisu yang membatu. Beberapa kali ingin kuajukan sebuah pertanyaan padanya sekadar untuk membunuh sepi yang terus menggelayut di antara kami, tapi keinginan tersebut selalu saja kandas sebelum sepatah dua patah kata berhasil kurangkai sempurna. Entahlah, aku seakan masih tersihir oleh pesona tubuhnya yang sungguh sulit untuk kutafsir. Namun, sedapat mungkin aku berusaha mengumpulkan sisa-sisa kewarasanku yang rentan untuk menanyainya tentang banyak hal.
“Masih jauhkah tempat itu?”
Ah, akhirnya meluncur juga kata-kata itu. Aku merasa sedikit lega setelah mampu mengajukan sebuah pertanyaan padanya. Dadaku terasa plong dan menjadi lebih tenang sekarang. Pertanyaan itu kusampaikan sekedar untuk meredam sepi yang membuatku merasa seperti salah tingkah dan kian gelisah. Dia menjawab sambil terus menatap lurus ke depan, tanpa menoleh ke arahku, meski hanya sekilas pandang saja. Bahkan, setelah gema suaranya yang menyusup lembut ke liang telingaku sirna, dan kembali berganti dengan gemericik air dari aliran sungai jernih berkelok-kelok, kulihat dia masih tetap dengan sikapnya semula. Berjalan dengan langkah-langkah panjang sambil menatap jauh ke dapan.
“Tak lama lagi kita akan segera sampai.” Katanya.
Kemudian kami kembali melangkah dalam aroma kebisuan menyusuri tepi sungai dan meninggalkan dua bentuk cetakan telapak kaki yang kian banyak jumlahnya di sepanjang bebatuan dan pasir sungai yang baru saja kami lalui. Cetakan telapak kakinya dan telapak kakiku sendiri.
Aku tak lagi bertanya setelah dia katakan tempat tujuan kami sudah tidak seberapa jauh. Meski aku sebetulnya menginginkan perjalanan itu dapat diisi dengan berbincang-bincang riang, bicara soal apa saja, karena kami belum banyak memahami satu sama lainnya untuk membicarakan sesuatu hal yang lebih khusus. Tapi aku tak ingin mengusik kehidmatan yang dia rasakan ketika itu. Aku tahu dia begitu menikmati perjalanan kami yang tampak ganjil. Iya, dari raut mukanya kutahu dia menghendaki saat-saat diam semacam itu berlangsung lebih lama lagi.
Perempuan itu berhenti di samping sebuah batu datar yang agak menjorok hingga ke tengah-tengah sungai. Dia duduk di atasnya sambil menjuntaikan kaki ke dalam sungai yang mengalir tenang. Betisnya yang putih mulus terlihat jelas oleh mataku karena dia sengaja menyingsing kaki celana yang ia pakai agar terhindar dari jilatan lidah air. Aku duduk persis di sisi tubuhnya. Masih dalam keadaan diam tanpa mengerti harus bicara apa.
“Aku akan mengatakan sesuatu padamu.” Katanya.
“Katakanlah!”
“Maukah kau kelak menjadi suamiku?”
Napasku seolah terhenti seketika, denyut jantungku terasa berdetak semakin kencang. Sungguh aku tak pernah menyangka pembicaraannya mengarah hingga ke sana. Tapi, aku tidak terlalu bodoh untuk menolak tawaran tersebut. Siapa yang tak ingin beristeri perempuan seperti dirinya?
“Tentu saja!” jawabku sekenanya.
“Tapi, ada persyaratannya!”
“Beratkah?”
“Kau harus sabar menanti hingga kelak kau temukan diriku kembali,” katanya.
“Hanya itu saja?”
“Iya. Hanya itu!”
Begitulah, perempuan itu telah berikrar untuk menjadi pendamping hidupku. Perempuan yang memiliki wajah elok serupa bulan. Dan aku telah menyanggupinya pula. Meski, baru saja aku mengenal dirinya. Benar-benar sebuah persekutuan aneh yang sulit dinalar. Menjelang fajar meruapkan cahaya dari ufuk timur, kami kembali ke taman di depan rumahku. Dan, di sana aku melepas kepergiannya. Dia melangkah pergi ketika aku masih meraba-raba pipi kiriku yang terasa hangat bekas kecupannya saat kuucapkan selamat jalan. Tapi, aku telah lalai menanyakan siapa namanya dan di mana pula aku harus menemuinya kelak. Sungguh, semua itu datang serba terlambat!
***
ENTAH kota mana lagi yang harus kudatangi untuk menagih janji yang pernah diucapkan perempuan berwajah bulan itu. Bahkan, aku sampai lupa jumlah tempat yang telah kukunjungi, sejak aku memutuskan untuk mencari dirinya. Aku telah bertemu dengan banyak orang ketika melintas dan singgah di sepanjang tempat-tempat yang kebetulan kulewati; bangsa kulit putih, kulit hitam, kulit sawo matang, kulit kuning lencir, semua sudah pernah kujumpai. Namun, belum juga kutemukan sosok perempuan itu. Aku memang pernah menemukan kemiripan dan bayang-bayang dirinya pada diri Pipit, Lesy, Alamanda, Rika, Wulan, Desy, dan entah siapa lagi. Tapi mereka bukanlah perempuan berwajah elok serupa bulan yang mampu mengisi setiap ruang dalam kepalaku.
Perempuan-perempuan yang berhasil kujumpai itu hanya memiliki sedikit kemiripan saja dengan dirinya. Namun, dalam banyak hal mereka sungguh berbeda jauh. Dan, tentu bukan mereka yang sesungguhnya sedang kucari hingga rela menyusuri lorong-lorong kota yang entah!
“Sampai kapan kau akan terus membujang?”
Aku tak mampu menatap wajah ibu yang memanahku dengan tatapan lembut penuh kasih. Betapa aku tak bermaksud menolak setiap permintaan ibu, tapi untuk permintaan satu ini aku tak kuasa serta merta memenuhinya. Meski kusadari bahwa usiaku ternyata sudah hampir tiga puluh-an tahun.
“Menikahlah, nak! Ibu ingin melihatmu berkeluarga dan bisa menimang cucu dari darah dagingmu.”
Suara ibu semakin membuat hatiku teriris-iris. Aku memamah ucapannya dengan getir. Aku ingat ia telah mengandungku selama sembilan bulan, dan membesarkanku dengan ketabahan amat teruji. Tentu saja pada sisa-sisa usia tuanya, ibu sangat ingin menyaksikan anaknya hidup tenang setelah berkeluarga. Namun untuk meluluskan permintaan ibu yang satu itu, entah kenapa selalu saja ada ganjalan kuat dalam diriku? Aku sendiri tak habis mengerti mengapa hal itu bisa terjadi.
“Aku belum menemukannya, Bu,”
“Kau bisa pilih siapa saja! Bukankah masih banyak perempuan yang dapat kau jadikan seorang isteri di kampung ini?”
Ah, ibu. Bukan salah satu dari mereka yang sedang kucari. Tapi, ada perempuan lain yang sejak lama telah merampok hatiku untuknya. Aku berusaha menemukannya kembali untuk menagih janji yang dulu pernah ia katakan itu. Bersabarlah, Bu, bila tiba waktunya perempuan itu akan kubawa serta kepadamu. Percayalah, bahwa hari-hari itu sudah semakin dekat!
Dan kini, aku kembali menyeret langkah-langkah panjang menyusuri setiap lorong kota demi menagih janji itu. Akan kurampungkan sisa-sisa pencarianku yang aku sendiri belum tahu di mana semuanya akan berakhir.
Depok, 25 Oktober 2006